Prov. Lampung|KBNI–News|“DEK, tadi siapa yang ngajak ngobrol sampai lama gitu. Kok kayaknya serius bener,” kata Dinda pada Gilang.
“Oh itu. Adek kelas di sekolah, mbak. Tadi dia cerita masalah yang lagi dihadepinnya sekalian minta saran,” sahut Gilang.
“Emang kenapa?” tanya Dinda.
“Dia kan mau nyalon ketua OSIS, karena dia ketua di kelasnya. Dukungan juga kata dia, sudah cukup banyak. Maka dia pede mau maju nanti,” ucap Gilang.
“Iya, terus apa masalahnya?” tanya Dinda lagi.
“Masalahnya, beberapa hari ini muncul nama baru dari kelasnya juga. Mau bersaing jadi ketua OSIS pula. Nah, dia bingung sekarang ini. Kenapa kawan-kawan di kelasnya kok jadi pecah gitu,” urai Gilang.
“Oalah. Terus apa saran adek tadi,” celetuk Dinda.
“Adek sampein aja, kalau sebaiknya dia batalin rencananya mau maju di pemilihan OSIS nanti,” kata Gilang, dengan nada serius.
“Kenapa kasih saran gitu, dek. Kan namanya persaingan itu hal yang lumrah. Justru dengan munculnya nama baru, kawan adek itu bakal nambah semangat buat nunjukin kemampuannya,” tanggap Dinda.
“Mbak mesti inget, yang namanya persaingan itu kalau kita beda kelas. Lha ini kan satu kelas. Kawan adek itu kan selama ini ketua kelas, ndadak muncul siswa lain di kelasnya mau maju jadi ketua OSIS juga, kan nggak lumrah itu,” tutur Gilang.
“Jadi nurut adek, yang kayak gini bukan persaingan ya?” tanya Dinda, penasaran.
“Bukan, mbak. Kalau yang kayak gini namanya persandingan. Kawan adek itu disandingkan dengan siswa lain yang punya kemampuan setara. Dan nurut adek, adanya persandingan kayak gini justru ngeruntuhin marwah kawan adek itu,” jelas Gilang.
“Kenapa gitu, dek?” ucap Dinda dengan cepat.
“Kan selama ini kawan adek itu ngejabat ketua kelas, mbak. Makanya dia punya niat maju di pemilihan ketua OSIS nanti. Eh, tiba-tiba muncul siswa lain di kelasnya yang mau maju juga. Artinya kan kawan adek itu selama ini kepemimpinannya kurang baik, nggak ngerangkul, bisa juga nggak nganggep siswa lain. Atau istilah kasarnya; gagal dia jadi ketua kelas. Kalau sudah gitu, ngapain maksain diri buat maju. Namanya maju di pemilihan ketua OSIS itu kan mesti bersaing dengan ketua kelas yang lain. Lha ini, kawan sekelasnya aja sudah nggak dukung, terbukti dengan adanya persandingan itu,” ujar Gilang panjang lebar.
“Masuk akal juga apa yang adek sampein. Jadi, kalau ada persandingan internal kayak gini, baiknya ketua kelas tahu diri aja ya. Nggak usah ngegedein mimpi buat maju jadi ketua OSIS,” sahut Dinda.
“Baiknya sih gitu, mbak. Buat orang yang berpikir rasional, yang punya harga diri, yang nyadari kekurangannya, itulah pilihan terbaik dan terbijak. Tapi kan, seringkali syahwat pengen pegang kekuasaan itu ngalahin semuanya, mbak. Bisa buat orang nggak rasional lagi, nggak peduliin harga diri, nggak ngukur banyaknya kelemahan, bahkan mau lakuin apapun juga, yang penting obsesinya terwujud,” kata Gilang, sambil tersenyum.
“Itu yang salah kaprah sebenernya ya, dek. Karena kekuasaan itu –sekecil apapun- kan tetep ada pertanggungjawaban dunia akheratnya. Mestinya kawan adek itu bersyukur, sebelum maju terlalu jauh sudah ada persandingan. Ini kan sebuah isyarat alam, kalau dia emang nggak dimauin banyak siswa kelas lain,” tanggap Dinda.
“Kok mbak tahu kalau kawan adek itu sebenernya nggak disukai sama siswa kelas lain?” tanya Gilang dengan nada heran.
“Lha, kalau dari kawan sekelasnya aja yang selama ini dia pimpin bisa muncul sosok jadi persandingannya, masak iya siswa kelas lain mau milih dia, dek. Jadi, bener yang adek saranin, baiknya kawan adek itu nutup obsesinya maju di pemilihan ketua OSIS. Ketimbang jadi ketawaan,” jelas Dinda, seraya melepas senyuman. (dalem tehang)