Prov. Lampung|KBNI–News|Miris memang. Di satu sisi defisit keuangan riil Pemprov Lampung pada anggaran tahun 2023 mencapai Rp 1.408.450.654.898,52 atau mengalami kenaikan 157% dibanding tahun 2022 sebesar Rp 548.710.195.978,24, di sisi lain tata kelola dan penggunaan anggaran masih sarat dengan penyimpangan atas aturan.
Namun, inilah fakta yang harus diketahui sejak dini oleh para cakada yang akan maju pada Pemilihan Gubernur Lampung 27 November mendatang. Agar nantinya –bila menang- tidak “tekanjat” karena menemukan kenyataan yang amat sangat tidak sesuai dengan yang dibayangkan selama ini.
Penggunaan anggaran yang tidak taat azas tersebut hampir terjadi pada seluruh OPD dengan beragam kegiatannya. Dan hal itu terus berulang setiap tahun anggaran. Sehingga terkesan bila praktik “mengutil” anggaran sudah menjadi kebiasaan. Bila diketahui dan menjadi temuan BPK akan dikembalikan, jika tidak, berarti aman.
Bagaimana dengan pemeriksaan internal? Inspektorat misalnya. Dapat dibilang bak “jeruk makan jeruk”. Karena semua OPD selalu menyisihkan dana dari kegiatannya untuk “setoran ke tim pemeriksa” dari Inspektorat. Jika “pembagian dianggap merata”, tidak akan menjadi temuan. Sebaliknya, jika dianggap “pembagian belum merata”, akan dicatatkan sebagai temuan.
Bukti mandulnya Inspektorat adalah banyaknya temuan “kelas recehan” di internal satuan kerja Pemprov Lampung. Contohnya saja. Pada Biro Administrasi Pimpinan ada seorang pegawai yang menjadi PPTK sekaligus merangkap PPK, berinisial DS. Alasannya karena di biro tersebut tidak ada pegawai yang memiliki spesifikasi keahlian bidang barang dan jasa. Yang menemukan adanya ketidakpatuhan pada azas amat sederhana ini pun BPK. Belum tentu Inspektorat tidak tahu persoalan ini, namun bisa jadi memang sengaja tidak “ditemukan”.
Masih kaitan tata kelola dan penggunaan anggaran, dalam urusan pembayaran honorarium sebagai pejabat pengadaan barang dan jasa misalnya, banyak terjadi penyimpangan. Dalam konteks ini, bukan persoalan besaran nilainya yang layak mendapatkan perhatian. Namun lebih kepada ketaatan pada ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.
Pada Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik terdapat pembayaran honorarium yang tidak sesuai ketentuan kepada Agu selama 12 bulan sebesar Rp 7.752.000,00. Juga kepada pegawai Biro Organisasi berinisial MMA sebesar Rp 7.752.000,00, dan pegawai Biro Kesejahteraan Rakyat berinisial SS sebanyak Rp 7.106.000,00. Apa kesalahannya? Karena sebagai fungsional pengadaan barang dan jasa yang menerima tunjangan atas jabatan tersebut.
Hal yang sama terjadi pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Adalah Rom, pegawai yang menjadi pejabat pengadaan barang dan jasa telah memperoleh honorarium sebesar Rp 9.690.000,00 pada tahun 2023. Peraturan Presiden Nomor: 53 Tahun 2023, telah mengatur besaran honorarium pejabat pengadaan barang dan jasa, yakni Rp 680.000,00 per-bulan. Dengan demikian, seharusnya Rom hanya menerima honor Rp 7.752.000,00, bukan Rp 9.690.000,00. Dalam hal ini, setelah menjadi temuan awal BPK, pihak terkait sudah menyelesaikan dengan menyetorkan ke kas umum daerah kelebihan pembayaran sebesar Rp 1.938.000,00 pada 5 April 2024 lalu.
Itu penyimpangan dalam penggunaan anggaran kelas kecil. Yang masuk kelas menengah –sekadar contoh- adalah adanya pemberian tambahan penghasilan terkait pemungutan pajak dan retrbusi daerah sebesar Rp 232.379.540,00. Setelah menjadi temuan awal BPK, anggaran ratusan juta tersebut dikembalikan ke kas umum daerah pada 3 April 2024.
Nah, yang kelas atas dalam praktik tata kelola dan penggunaan anggaran yang berindikasi “akal-akalan” –juga sekadar contoh- adalah diketemukannya kelebihan pembayaran belanja pegawai kepada dua pejabat penting di Sekretariat Daerah Pemprov Lampung dengan nilai Rp 612.278.013,00.
Dan seperti yang lain, setelah menjadi temuan awal BPK, kelebihan pembayaran belanja dua pejabat penting di “jantungnya” pemprov tersebut, telah dikembalikan ke rekening kas umum daerah pada tanggal 3 Mei 2024 lalu.
Masih terkait dengan kucuran honorarium yang terkesan “mengutil” dari APBD Lampung TA 2023, dimainkan oleh dua OPD. Yaitu Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura, dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).
Bagaimana kisahnya? Bermula dari langkah kedua OPD tersebut membentuk tim pelaksana kegiatan yang SK-nya ditandatangani oleh kepala OPD bersangkutan. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor: 33 Tahun 2020, di mana dinyatakan pembayaran honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diangkat dalam suatu tim pelaksana kegiatan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu berdasarkan surat keputusan (SK) kepala daerah atau sekretaris daerah.
Parahnya lagi, anggota tim pelaksana kegiatan yang dibentuk Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura, maupun BPSDM semuanya berasal dari OPD bersangkutan, tidak lintas satuan kerja perangkat daerah.
Dan menjadi lebih parah, adalah pernyataan bendahara pengeluaran dan PPTK dua OPD tersebut yang mengaku belum mengetahui jika pembentukan tim pelaksana kegiatan harus berdasarkan SK Gubernur atau Sekretaris Daerah sebagaimana perintah Perpres Nomor: 33 Tahun 2020.
Yang pasti, dari pembentukan tim pelaksana kegiatan di dua OPD itu saja, terdapat penggunaan anggaran yang tidak sesuai ketentuannya sebesar Rp 53.969.500,00, dan hingga saat ini belum dikembalikan ke kas umum daerah sebagaimana mestinya.
Ada lagi OPD yang membayarkan honorarium kepada tim pelaksana kegiatan, padahal apa yang dilakukannya sesuai dengan tupoksi OPD bersangkutan. Yaitu Badan Kesbangpol. Ada pengeluaran anggaran Rp 10.887.000,00 sebagai honorarium yang tidak sesuai ketentuannya.
Akal-akalan “mengutil” anggaran dengan pemberian honorarium juga terjadi pada beberapa OPD lain. Misalnya, terkait pembayaran honor untuk narasumber yang berasal dari internal OPD penyelenggara. Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor: 53 Tahun 2023 tentang Standar Harga Satuan Regional, pada Lampiran I butir 1.4.1 dinyatakan: dalam hal narasumber atau pembahas berasal dari satuan kerja perangkat daerah penyelenggara, maka diberikan honorarium sebesar 50% dari honorarium narasumber atau pembahas.
Namun, yang dilakukan oleh beberapa OPD tidak sesuai Perpres 53 Tahun 2023 tersebut. Di mana honorarium kepada narasumber yang berasal dari internal OPD penyelenggara, diberikan secara penuh atau 100%. OPD mana saja yang “ngakali” ketentuan untuk menggerogoti anggaran tersebut?
Diantaranya –lagi dan lagi- adalah BPSDM dengan nilai kelebihan pembayaran honorarium sebesar Rp 27.535.000,00, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Rp 700.000,00, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Rp 6.145.000,00, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Rp 1.100.000,00, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Rp 8.711.250,00, dan Badan Kesbangpol yang terbanyak mengakali kelebihan pembayaran honorarium narasumber internal ini, yaitu Rp 45.850.000,00.
Bukan hanya honorarium untuk narasumber atau pembahas saja yang “dimainkan”. Honor untuk moderator pun diakali. Dengan cara pembayarannya menggunakan perhitungan satuan orang/jam, bukan orang/kegiatan. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 20 Tahun 2022 tentang Standar Harga Satuan Tahun 2023, dan Peraturan Presiden Nomor: 33 Tahun 2020. Meski hanya dua OPD yang melakukannya, namun ada anggaran Rp 231.800.000,00 yang “dikutil”.
OPD apa yang sampai sebegitu banyak mengakali honorarium moderator tersebut? Mengacu pada LHP BPK RI Perwakilan Lampung Nomor: 40B/LHP/XVIII.BLP/05/2024 tertanggal 3 Mei 2024, tidak lain adalah Bappeda dengan nilai kelebihan bayar Rp 2.380.000,00 dan Dinas BMBK yang kelebihan pembayaran honor moderatornya sangat fantatis, dengan jumlah totalnya mencapai Rp 229.420.000,00.
Dalam konteks kelebihan pembayaran honorarium moderator, pembawa acara, dan panitia yang melebihi ketentuan Pergub Nomor: 20 Tahun 2022, setidaknya ada tiga OPD lain juga. Yaitu BPSDM sebesar Rp 3.315.000,00, Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Rp 1.350.000,00, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Rp 2.857.500,00. Yang patut menjadi catatan: hingga saat ini kelebihan pembayaran honor narasumber, moderator, pembawa acara maupun panitia pada lima OPD dengan nilai ratusan juta rupiah itu belum dikembalikan ke kas umum daerah Pemprov Lampung. Alias menjadi bancakan para pejabat terkait di lima OPD tersebut.
Kegiatan memainkan anggaran dengan alasan honor untuk narasumber juga dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan tergolong kelewatan. Betapa tidak. Narasumber pada kegiatan seminar memperingati Hari Ibu ke-95 dibayar Rp 75.000.000,00, hanya “bekerja” dalam kurun waktu 1,5 jam saja.
Terang benderang apa yang dilakukan Dinas PPPA tersebut telah menabrak Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 20 Tahun 2022 tentang Standar Harga Satuan (SHS) Tahun 2023, yang menyatakan honorarium narasumber profesional sebesar Rp 1.700.000,00 per-jam.
Anehnya, untuk menggelar kegiatan seminar selama satu hari memperingati Hari Ibu ke-95 tersebut, Dinas PPPA menggandeng pihak ketiga yaitu PT GF. Berdasarkan surat perintah kerja nomor: 05/SPK/Seminar-GF/XII/2023, pihak ketiga berperan sebagai penghubung dinas kepada narasumber yang berasal dari Jakarta. Selain itu, satuan kerja di lingkungan Pemprov Lampung tersebut memberikan anggaran sebesar Rp 75.000.000,00 kepada PT GF, dan pihak ketiga tersebut akan mengeluarkan kuitansi pertanggungjawaban sesuai dengan pagu anggaran biaya narasumber dan fee sebagai event organizer.
Berdasarkan bukti dokumen mutasi bank yang didapatkan tim BPK RI Perwakilan Lampung, narasumber atas nama AA ternyata memperoleh pembayaran sebagai narasumber sebesar Rp 55.000.000,00 hanya dalam waktu 1,5 jam penyampaian materinya.
Bagaimana dengan sisa anggaran Rp 20.000.000,00 lainnya? Telah dibagi-bagi. Yaitu pendamping narasumber mendapatkan honorarium Rp 5.000.000,00, akomodasi pihak ketiga (PT GF) Rp 3.125.000,00, pembuatan materi Rp 2.500.000,00, pajak Rp 1.875.000,00, dan fee event organizer Rp 7.500.000,00.
Atas peristiwa di Dinas PPPA tersebut, BPK RI Perwakilan Lampung mencatatkannya dengan kalimat: belanja honorarium narasumber pada Dinas PPPA sebesar Rp 75.000.000,00 membebani keuangan daerah.
Bukan hanya dana dari APBD Lampung saja yang acapkali “dikutil” oleh internal OPD-nya. Kucuran dana dari Pemerintah Pusat pun tetap menjadi ajang “permainan”. Hal itu terbukti dengan adanya praktik akal-akalan penggunaan anggaran dalam pekerjaan pengelolaan koleksi, program publik, pemeliharaan sarana dan prasarana pada UPTD Museum Ketransmigrasian dan UPTD Museum Lampung.
Seperti diketahui, pada tahun 2023 lalu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menerima dana alokasi khusus (DAK) Non Fisik bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) pada museum dengan nilai Rp 3.500.000.000,00. Dana tersebut direalisasikan sebesar Rp 3.480.333.900,00 untuk kegiatan di UPTD Museum Ketransmigrasian dan UPTD Museum Lampung. Selain itu, terdapat realisasi BOP pada UPTD Taman Budaya senilai Rp 2.000.000.000,00 yang telah digunakan sebanyak Rp 1.990.603.500,00.
Lalu di mana akal-akalannya? Ternyata, dalam pekerjaannya, baik UPTD Museum Ketransmigrasian maupun UPTD Museum Lampung, hanya “meminjam” CV, sedangkan pelaksananya berbeda bendera perusahaan. Hal ini terungkap setelah dilakukan pengecekan atas dokumen pertanggungjawaban dengan perusahaan bersangkutan.
Pada pekerjaan di kedua museum tersebut diketahui terdapat penyedia yang digunakan untuk pembelian sedikitnya delapan CV. Praktik manipulasi pun terungkap. CV KUJ yang dalam dokumen pertanggungjawaban ditulis sebagai penyedia fotocopi, cuci cetak foto, dan pengisian tabung pemadam kebakaran, ternyata tidak pernah melakukan kegiatan itu.
Karena memang CV KUJ tidak menyediakan barang dan jasa seperti yang dituliskan dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Juga terungkap jika nota dan stempel yang tertera dalam pertanggungjawaban berbeda dengan yang dimiliki perusahaan tersebut. Dalam konteks ini secara nyata diketemukan adanya praktik manipulasi atau pemalsuan terhadap dokumen penggunaan keuangan negara, yang masuk dalam ranah indikasi tindak pidana korupsi.
Akal-akalan pejabat yang menangani pekerjaan di dua museum itu semakin terungkap dengan “nyanyian” pimpinan CV RAJ, yang dalam kegiatan tersebut bertindak sebagai koordinator “penyiap” perusahaan. Ia membuka fakta yang sesungguhnya, bila semua CV yang dituliskan dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan DAK Non Fisik tersebut hanya berstatus dipinjam nama saja alias bukan mereka yang melaksanakan kegiatannya.
Dari praktik penggunaan anggaran yang tidak taat aturan pada dua UPTD museum dan UPTD Taman Budaya –akibat lemahnya pengawasan internal dan piawainya para oknum mengakali penggunaan anggaran- ini saja, ada kelebihan pembayaran atas belanja DAK Non Fisik pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 807.871.026,00 alias tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Dengan perincian: UPTD Museum Ketransmigrasian mengangkangi anggaran dan harus mengembalikan ke kas daerah sebesar Rp 203.733.060,00, dan UPTD Museum Lampung wajib mengembalikan Rp 467.422.250,00. Pun UPTD Taman Budaya memiliki tanggungjawab mengembalikan ke kas daerah sebesar Rp 133.715.716,00.
Ironisnya, hingga saat ini kelebihan pembayaran atas realisasi pekerjaan sarat akal-akalan tersebut belum dikembalikan ke kas umum daerah sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adakah tindakan dari Inspektorat Lampung sebagai “pengawas” kegiatan penggunaan anggaran di semua OPD lingkungan pemprov terkait masalah ini? Tidak ada sama sekali.
Sudah demikian parahkah mental para ASN pemegang kekuasaan anggaran di lingkungan Pemprov Lampung dalam “mengakali” dana pembangunan? Besok giliran dibedah “isi perut” terkait realisasi anggaran di bidang infrastruktur. (bersambung/sugi)