Bandarlampung|KBNI–News|Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Lampung Selatan, Gandi Yusnadi, mengecam keras dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan media online Tinta Informasi, Amuri Alpa. Hal ini terkait pemanggilan klarifikasi oleh Polres Bandarlampung atas laporan seorang pejabat Dinas Sosial Pemkot Bandarlampung mengenai pemberitaan yang diduga mencemarkan nama baiknya.
Gandi menegaskan bahwa pemanggilan tersebut berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. “Penyidik jangan memaksakan kehendak dengan melayangkan surat panggilan terhadap Amuri Alpa. Kami telah mempelajari bahwa laporan ini masuk dalam delik pers, yang artinya harus diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan ranah pidana,” ujar Gandi, Selasa (11/2/2025).
Ia juga menilai langkah Polres Bandarlampung ini sebagai bentuk intimidasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya. “Pemanggilan ini, meski dalam bentuk klarifikasi, bisa menjadi alat intervensi untuk menekan dan menakut-nakuti media dalam mencari serta menyampaikan informasi kepada publik,” imbuhnya.
Menurut Gandi, seharusnya setiap sengketa pers diselesaikan berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terlebih, Tinta Informasi telah mengajukan hak jawab sesuai rekomendasi Dewan Pers. “Seharusnya ini cukup sebagai dasar bahwa permasalahan ini bisa diselesaikan secara jurnalistik, tanpa harus melibatkan proses pidana,” katanya.
Gandi berharap Polres Bandarlampung menghormati nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Kepolisian RI, yang menegaskan bahwa sengketa pers harus diselesaikan sesuai mekanisme yang berlaku dalam UU Pers. “Kami insan pers sangat menghormati hukum, tetapi kami juga berharap Polres Bandarlampung menghargai kerja jurnalistik yang bertujuan mengungkap fakta kepada publik,” tegasnya.
Diketahui, Amuri Alpa menerima surat panggilan dari penyidik Bripka Eka Febriyanti, yang ditandatangani oleh Kasat Reskrim Kompol Erico Sidahruk, terkait dugaan pencemaran nama baik seorang pejabat Dinas Sosial Kota Bandarlampung akibat pemberitaan yang dipublikasikan.
Kasus ini menjadi alarm bagi kebebasan pers di Indonesia: apakah jurnalis masih bisa bekerja tanpa rasa takut, atau akan terus dibayang-bayangi kriminalisasi?
( TIM/ RED)