Lahan Rawa Diambil Perangkat Desa, Warga Giriklopo Menyimpan Kegeraman

Lampung Timur|KBNINews|Sampai saat ini, sedikitnya 40 orang warga Desa Giriklopo Mulyo, Kecamatan Sekampung, Lampung Timur, berada dalam kegeraman dan disesaki dengan pertanyaan yang tiada berkesudahan.

Apa persoalannya? Tidak lain terkait kepemilikan lahan rawa wiru seluas 86.658 m2 yang tiba-tiba menjadi milik kepala desa dan beberapa perangkat desa lainnya.

Lha kok bisa? Kaimen, perwakilan masyarakat Giriklopo Mulyo yang telah puluhan tahun menggarap lahan rawa wiru, ketika ditemui di kediamannya Selasa (11/6/2024) pekan silam, menjelaskan, beralihnya kepemilikan rawa wiru ke kepala desa beserta perangkatnya tersebut diketahui warga pada saat pengumuman daftar nominatif ganti rugi lahan terdampak bendungan Marga Tiga tahun 2022 lalu.

“Dalam pengumuman tersebut, lahan rawa wiru seluas lebih kurang 86.658 m2 tersebut, sudah diatasnamakan kepemilikannya kepada beberapa perangkat desa dan kepala desa. Nilai ganti rugi tanahnya sebesar Rp 6.224.100.000, sedangkan ganti rugi tanam tumbuh lebih dari Rp 1.000.000.000,” tutur Kaimen.

Mendapati kenyataan itu, lanjut Kaimen, warga 57 B merasa resah. Pasalnya, selama puluhan tahun sejak orangtua mereka, secara turun temurun menjadikan lahan tersebut sebagai tempat menanam padi. Namun, tiba-tiba sudah menjadi milik orang lain.

Dalam kondisi masyarakat resah tersebut, lanjut Kaimen, datanglah H. Kemari, seorang pengacara yang menawarkan diri untuk membantu warga, dengan imbalan 50 % hasil ganti rugi lahan dan tanam tumbuh tersebut.

“Tentu saja kami semua merasa senang, ada yang mau membantu untuk memperjuangkan hak-hak kami. Namun sayangnya, setelah mendapatkan kuasa dan kepercayaan dari masyarakat, pak Haji Kemari justru berbalik arah, membantu kepala desa. Padahal, warga sempat memotong seekor kambing sebagai wujud rasa syukur mereka dibantu oleh pak Haji Kemari,” tutur Kaimen dengan suara tersendat.

Ditambahkan, dengan alasan warga terlalu banyak bertanya tentang progres pendampingannya, akhirnya H. Kemari pun meninggalkan begitu para warga yang memberinya kuasa.

Dijelaskan Kaimen, berdasarkan surat sporadik yang ada, saat ini tanah rawa wiru sudah menjadi milik enam orang, yaitu Gentur Purnawirawan seluas 24.274 m2, Afrizal dengan luas 11.197 m2, Aji Wibowo 20.720 m2, lalu Pungut Jayusman memiliki luas 17.097 m2, Sarimun luas 4.984 m2, dan Ginarto 7.501 m2.

“Untuk diketahui saja, orang-orang tersebut tidak pernah sekalipun menggarap lahan rawa wiru yang dulunya hanya orang miskin saja yang mau mengusahakannya menjadi tempat bertanam padi sawah. Kok bisa tiba-tiba menjadi pemilik rawa,” ucap Kaimen dengan nada gusar.

Sementara Kepala Desa Giriklopo Mulyo, Gentur Purnawirawan, saat dihubungi melalui WhatsApp, Selasa (11/6/2024) malam, terkait berpindahtangannya kepemilikan lahan rawa wiru kepada dirinya dan perangkat desa, menjelaskan, bahwa hal tersebut sudah sesuai perda mengenai tanggung jawab pengelolaan aset desa berada ditangan kepala desa dibantu oleh perangkat desa.

“Mereka penggarap itu sudah menggugat di pengadilan, tapi ditolak,” tambah Gentur Purnawirawan.

Gentur menyatakan, tanah rawa wiru tidak dapat dimiliki oleh perseorangan ataupun kelompok, karena itu aset desa.

Namun penjelasan Kepala Desa Giriklopo Mulyo ini justru menyulut pertanyaan dan kegeraman tersendiri di hati puluhan warga setempat.

Mengapa? “Kalau betul rawa witu menjadi aset desa, kenapa tidak atas nama desa surat-menyuratnya. Kenapa nama perseorangan sebagai pemiliknya,” tanggap Kaimen.

Seorang tokoh masyarakat Giriklopo Mulyo yang tidak mau disebutkan namanya mengaku akan mengirimkan surat secara khusus kepada Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam, dan Kapolri terkait pengambilalihan lahan rawa wiru oleh perangkat desa tersebut.

“Suratnya berisi kronologis lengkap dengan data pengambilalihan rawa wiru itu sudah siap untuk dikirimkan. Kami hanya meminta keadilan saja. Sangat memalukan, aparat desa justru membuat rakyatnya sendiri menjadi korban keserakahannya,” kata tokoh masyarakat tersebut, seraya berharap puluhan warga yang “dikadali” perangkat desa untuk bersabar, karena keadilan pasti punya jalannya sendiri untuk menunjukkan kehadirannya. (johan)