Menyingkap Aset Tanah Pemprov Lampung yang Puluhan Tahun ‘Ditelantarin’ (Bagian 1)

Prov. Lampung|KBNINews|Pj Gubernur Lampung, Samsudin, yang selama ini dikenal cukup cermat dalam menelisik aset daerah, tampaknya “tersilep” dengan adanya 26 aset tanah pemprov yang sejak puluhan tahun ini “ditelantarkan” pengurusan atau kepastian hukumnya. Padahal, nilainya cukup besar, yaitu Rp 91.638.379.000.

Benarkah ada 26 aset tanah pemprov yang selama ini “menggantung” statusnya karena dikuasai pihak lain? Tentu saja benar. Karena hal tersebut menjadi lampiran dalam Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Lampung Tahun 2023 yang ditandatangani Arinal Djunaidi, saat itu sebagai Gubernur Lampung, Mei 2024, dan dipaparkan pada LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Nomor: 40.A/LHP/XVIII.BLP/05/2024, tertanggal 3 Mei 2024.

26 aset tanah pemprov yang “ditelantarkan” alias tidak diseriusi pengurusannya itu, terdiri dari beberapa klasifikasi. Yaitu aset dalam proses ligitasi, aset tanah yang sertifikatnya telah dimiliki oleh Pemprov Lampung dan dikuasai masyarakat tanpa adanya perjanjian yang sah, aset tanah milik pemprov yang belum bersertifikat dan dikuasai masyarakat tanpa perjanjian, serta aset tanah milik pemprov yang belum bersertifikat atas nama pemprov dan memiliki sertifikat atas nama orang lain atau kondisi telah diduduki oleh masyarakat.

Apa saja aset tanah –yang sebenarnya- milik Pemprov Lampung namun selama ini “ditelantarkan” dalam kepastian hak kepemilikan dan penguasannya? Yang masuk kategori aset dalam proses ligitasi ada tiga. 

Pertama, tanah dan bangunan Bumi Perkemahan Kwartir Daerah Pramuka di Trans Pramuka, Way Jepara, Lampung Timur.

Tanah seluas 3.102.310 m2 perolehan tanggal 18 Maret 1979 senilai Rp 2.166.000.000, dengan nomor sertifikat P.1/RBL, P.2/RBL, P.3/RBL, dan P.4/RBL itu dikuasai masyarakat adat. Lahan sudah sertifikat hak pakai atas nama Kwartir Daerah Pramuka Provinsi Lampung ini bermasalah sejak tahun 2000-2001, setelah Pusat Latihan Perintis Pembangunan Regional Pemuda Pramuka (PPRT) tidak beraktivitas, dipakai oleh masyarakat dan diklaim sebagai tanah adat. 

Persoalan tanah yang berlokasi di Desa Sukadana Udik, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, itu pernah gelar perkara di Polres Lampung Timur dan ada empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka jual beli tanah (mafia tanah). Meski hingga kini belum jelas titik akhir aset ini, namun keberadaannya masih tercatat di dalam Kartu Identitas Barang (KIB) A Pemprov Lampung (intracomptable).  

Kedua, aset tanah seluas 37.717 m2 perolehan tanggal 31 Agustus 1997 senilai Rp 315.000.000 berlokasi di Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Pada lahan dengan sertifikat nomor: 13 itu kini telah berdiri rumah permanen dan semi permanen milik masyarakat, bahkan telah ada bangunan masjidnya. 

Pada tahun 2020 silam, Pemprov Lampung pernah melakukan upaya pengosongan, namun masyarakat setempat melakukan “perlawanan” dengan melaporkan ke aparat penegak hukum. Persolan ini proses hukumnya mandeg di Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Meski demikian, sampai aset tersebut masih tercatat pada KIB A Pemprov Lampung sebagai aset lain-lain. 

Ketiga, aset berupa tanah kosong seluas 20.448 m2 perolehan tanggal 31 Agustus 1997 senilai Rp 315.000.000 di Kelurahan Sukarame Baru, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, dengan nomor sertifikat: 30/SI. Fisik tanah dikuasai sepenuhnya oleh masyarakat, dan telah berdiri masjid, rumah permanen, maupun semi permanen.

Seperti juga masalah aset di Sabah Balau, untuk urusan aset di Sukarame Baru ini pada tahun 2020 lalu Pemprov Lampung telah berupaya melakukan pengosongan, tetapi masyarakat mengajukan laporan, sehingga sampai saat ini proses hukumnya mentok di PN Tanjung Karang. Aset ini pun masih tercatat di KIB A sebagai aset lain-lain.

Lalu bagaimana dengan aset tanah yang sertifikatnya telah dimiliki pemprov namun dikuasai masyarakat tanpa ada perjanjian yang sah? Jumlahnya cukup banyak, ada 12 aset.

Pertama, tanah dan bangunan kantor dan rumah dinas milik UPTD Jalan dan Jembatan Wilayah I Dinas BMBK yang berada di Jalan Raya Gedong Tataan, Desa Sukaraja, Gedong Tataan, Pesawaran. Aset tanah seluas 2.035 m2 perolehan 29 September 1990 senilai Rp 5.400.000 ini meski telah memiliki sertifikat nomor: 3, namun secara fisik penguasaannya ada di masyarakat setempat.

Memang, patok dan plang Pemprov Lampung masih ada di lokasi, tetapi fisik tanahnya dikuasai masyarakat dengan membuka warung-warung. Sampai saat ini, aset tersebut masih tercatat di KIB A (intracomptable).

Kedua, aset berupa tanah perkebunan karet dan lain-lain yang menjadi tanggung jawab Dinas Perkebunan. Luasnya 661.790 m2, perolehan tanggal 31 Maret 1969, senilai Rp 1.898.000, berada di Jalan Raya Tanjung Ratu Ilir, Desa Tanjung Ratu Ilir, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah.

Sebagian aset yang sudah bersertifikat dengan nomor: P1/TR Ilir itu dikuasai masyarakat untuk menanam singkong, tetapi –ini ironisnya- pemprov sendiri belum mempunyai data yang pasti mengenai berapa luas aset yang selama ini “diberdayakan” oleh masyarakat setempat.

Karena memang belum ada upaya hukum apapun dari pemprov terkait lahan tersebut. Yang pasti, sampai tahun 2023 kemarin, keberadaan aset ini masih tercatat di dalam KIB A (intracomptable).

Ketiga, aset berupa tanah bangunan rumah negara tanpa golongan seluas 578 m2 perolehan tanggal 27 September 1957 berlokasi di Bukit Kemuning, Lampung Utara, senilai Rp 5.780.000.

Tanah dan bangunan yang menjadi tanggung jawab UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan VII Way Waya Tangkit Tebak Dinas Kehutanan itu telah memiliki sertifikat nomor: 9 BKT, tetapi fisiknya dikuasai masyarakat. Pemprov Lampung belum pernah ada upaya hukum apapun hingga saat ini. Dan masih tercatat di KIB A (intracomptable). 

Keempat, aset berupa tanah dan bangunan rumah negara golongan II seluas 295 m2 perolehan 26 Maret 1958 di Liwa, Lampung Barat, senilai Rp 6.400.000. Walau memiliki sertifikat dengan nomor: 4, namun aset tersebut selama ini dikuasai masyarakat dan pemprov belum ada upaya hukum apapun. Keberadaan aset yang menjadi tanggung jawab UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan II Liwa Dinas Kehutanan Lampung itu masih tercatat di KIB A (intracomptable).

Terus, aset Pemprov Lampung apalagi yang “ditelantarin” selama ini? Besok lanjutannya. (bersambung/sugi)