Provinsi Lampung|KBNI–News|Kasus pemalsuan dokumen CV CJ yang dilakukan seorang pegawai tenaga harian lepas (PTHL) Sekretariat DPRD Lampung guna mendukung kegiatan reses 85 wakil rakyat pada tahun 2022 lalu, terindikasi telah masuk ke ranah tindak pidana korupsi alias tipikor.
“Menurut saya, sangat jelas kasus pemalsuan dokumen mengatasnamakan CV CJ itu masuk ranah tipikor.
Sebab yang dirugikan adalah uang negara. Dalam hal ini uang rakyat daerah Lampung yang ada di dalam APBD,” kata praktisi hukum senior di Lampung, Yulius Andesta, Selasa (5/9/2023) petang.
Namun, lanjut Yulius, pada kasus pemalsuan dokumen seperti yang terjadi di lingkungan Sekretariat DPRD Lampung itu, penyidik biasanya mengkaitkan juga dengan tindak pidana umum.
Dijelaskan, pasal 9 UU Tindak Pidana Korupsi, berbunyi: Pejabat yang dengan sengaja memalsukan buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi dapat dipenjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp 250 juta. Dengan jo pasal 263 KUHPidana.
Mengenai bentuk-bentuk pemalsuan surat, menurut dia, dilakukan dengan cara: membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
Memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli.
“Memalsukan tandatangan juga termasuk pengertian memalsu surat,” lanjutnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, melalui LHP Atas Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2022, BPK RI Perwakilan Lampung menemukan fakta adanya praktik pemalsuan surat atau dokumen di lingkungan Sekretariat DPRD Lampung berkaitan dengan kegiatan reses para wakil rakyat.
Pada belanja kegiatan reses berupa pengadaan sewa tempat/tarup/tenda beserta konsumsi berbentuk nasi kotak dan kudapan.
Dalam SPJ atas reses 10 anggota DPRD Lampung Dapil VI tersebut, dituliskan bila penyedia jasa adalah CV CJ.
Namun setelah dilakukan cek lapangan, BPK menemukan fakta jika perusahaan itu telah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2021. Menyusul wafatnya JE sebagai direktur perusahaan.
RD anak JE, kepada BPK menegaskan, pihaknya tidak pernah melakukan pengadaan pada Sekretariat DPRD Lampung pada tahun 2022. Dan seluruh tandatangan serta stempel perusahaan yang terdapat dalam SPJ bukan dari CV CJ. Alias telah dipalsukan.
Akibat pemalsuan dokumen perusahaan ini, uang rakyat Lampung yang “dimainkan” oknum di Sekretariat DPRD Lampung mencapai Rp 2.476.800.000.
Lalu siapa pelaku pemalsuan dokumen CV CJ itu? Berdasarkan penelisikan, BPK RI Perwakilan Lampung menemukan sosoknya. Ia adalah NSS. Seorang PTHL yang selama ini bertugas pada bagian aspirasi, humas, dan protokoler Sekretariat DPRD Lampung.
Mengacu pada temuan BPK dinyatakan, NSS mengakui bila SPJ kegiatan reses Dapil VI selama tahun 2022 dibuat oleh dirinya. Yang ia tulis berdasarkan proposal kegiatan awal yang diberikan oleh pendamping kegiatan reses, bukan berdasarkan jumlah riil yang dilaksanakan.
Terkait dengan SPJ atas nama CV CJ, demikian diungkap BPK, NSS mengakui merupakan SPJ yang dibuat dan ditandatangani sendiri oleh dirinya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun anggaran 2022 lalu, 85 anggota DPRD Lampung melakukan reses sebanyak tiga kali. Yaitu pada tanggal 21 sampai 28 Februari, 24 sampai dengan 31 Mei, dan pada tanggal 8 hingga 15 September, dengan total biaya yang dipakai mencapai Rp 24.480.000.000.
Yulius Andesta menambahkan, pada waktu memalsukan surat, harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
“Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata ‘dapat’ maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian, itu sudah cukup. Apalagi kalau secara nyata memang ada kerugian keuangan daerah atau negara. Maka kasus di Sekretariat DPRD ini menurut saya, masuk ranah tipikor,” urainya.
Menurut dia, terkait dengan perkara ini, tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga adalah yang sengaja menggunakan surat atau dokumen palsu tersebut.
Mengenai apakah dengan terungkapnya kasus ini ke publik, aparat penegak hukum (APH) dari Kepolisian atau Kejaksaan bisa langsung melakukan penyelidikan, Yulius menilai, biasanya jika telah menjadi temuan BPK, aparat penegak hukum pasti melakukan penyelidikan. Hanya apakah dilakukan secara terbuka atau diam-diam, itu siasat masing-masing institusi.
“Dan setiap orang berkewajiban melaporkan bila diduga ada terjadinya peristiwa tindak pidana.
Maka APH dapat langsung menindaklanjuti kasus tersebut,” sambung Yulius Andesta.
Dikatakan, sepengetahuannya sudah beberapa kali terjadi peristiwa terindikasi tindak pidana di Sekretariat DPRD Lampung, namun tidak pernah sampai ke pihak APH.
Terang-terangan Yulius menilai, adanya kasus semacam ini membuktikan bila fungsi pengawsan dan pembinaan oleh Inspektorat Lampung sangat lemah, baik secara administrasi maupun personal.
Sementara Sekretaris DPRD Lampung, Tina Melinda, memilih bungkam alias tidak menanggapi permintaan media ini untuk konfirmasi.
Daftar pertanyaan yang dikirim melalui WhatsApp, Selasa (5/9/2023) pagi, memang dibaca. Tetapi hingga berita ini ditayangkan, Tina Melinda tidak memberi jawaban. (sugi)