Oleh : Gunawan Handoko
Bandar Lampung|KBNI–News|Sorry Bro, saya terpaksa bicara lewat tulisan. Bukan nggak mau ngomong langsung ke Ente, cuma sudah capek ngeladenin Ente yang setiap ketemu selalu ngeluh dan ngeluh terus.
Lewat tulisan ini saya berharap (bahkan yakin) Ente akan membacanya. Semoga nggak cuma sepintas, tapi berulang-ulang. Jujur Bro, salah satu penyebab kenapa saya sering menolak untuk ketemu dan diajak makan-makan, karena selalu dirubung Ente-ente dengan agenda yang sama, curhat dan mengeluh.
Ente nggak sadar kalau kita sebenarnya senasib, sama-sama pernah terkena ‘tsunami’ dan kehilangan jabatan. Cuma beda waktu saja dan saya nggak pernah mengeluh seperti kalian ini. Terkena rolling atau kehilangan jabatan bagi saya itu merupakan resiko, karena setiap kali pilkada saya selalu melibatkan diri sebagai tim sukses salah satu calon, walau bermain dibelakang layar.
Kenapa hal itu saya lakukan? Karena PNS masih punya hak memilih, maka harus tahu kualitas calon yang diyakini nggak bakal membuat celaka para pembantunya. Ketika calon yang saya dukung ternyata kalah, maka konsekuensinya saya terbuang. Cuma ada yang bikin saya heran, kenapa masih saja Ente curhat ke saya, padahal komentar saya nggak pernah berubah, bahwa ini resiko.
Termasuk resiko bagi PNS yang memilih untuk tidak melibatkan diri sebagai pendukung seperti Ente. Bahkan saya dengar, Ente nggak datang ke TPS waktu coblosan tempo hari, tapi jalan-jalan keluar kota dengan keluarga. Ibarat orang berkebun, nggak ikut nanem dan ngerawat tapi mau ikutan panen, itu maling namanya.
Ada sih yang bikin saya senang, karena Ente nggak pernah lagi bicara soal beban moral dan beban psikologis ketika dulu kena rolling. Kenapa mesti malu, malu sama siapa? Kita korupsi enggak, maling apa lagi. Masyarakat sudah nggak heran lagi kok dengan yang namanya rolling-merolling. Malah kadang-kadang mereka yang ngeledek kita dengan bertanya: ”kena tsunami ya Pak?”
Sudahlah Bro, mulai sekarang nggak usah lagi mikirin jabatan dan jangan pula bicara soal skill. Nggak perlu terlalu hanyut dengan omongan orang bahwa Ente sosok PNS yang cerdas, punya integritas, bermoral, dan sebagainya, tapi kok digasak juga. Sudah saya bilang berkali-kali, bahwa di era sekarang ini pinter saja tidak cukup. Jabatan seorang PNS dapat dicopot atau berpindah-pindah tugas tanpa harus mempertimbangkan kemampuan individu dengan bidang tugas yang harus diembannya.
Gara-gara omongan saya bahwa ’pinter saja nggak cukup’, Ente tersinggung dan berniat untuk berhenti kuliah ambil S-2. Sorry Bro, tidak ada niat sedikitpun untuk melemahkan semangatmu dalam menimba ilmu. Yakinlah, suatu saat jaman akan berubah walaupun hari ini negeri kita masih karut marut nggak keruan.
Saran Bro, biar otak nggak stres, untuk sementara tinggalkan dulu yang namanya idealisme itu. Termasuk mersoalin undang-undang yang ngatur pengangkatan dan pemberhentian jabatan PNS. Saya paham Bro, memang idealnya untuk menjamin objektivitas, dalam mempertimbangkan pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, harus diadain penilaian prestasi kerja. Itu bunyi undang-undang Bro, tapi nyatanya kan lain. Penilaian prestasi kerja sudah terjerat subjektivisme sehingga berbagai macam keberhasilan dalam menjalankan tugas tidak akan bermanfaat. Semua kalah dengan ’hak prerogratif’ seorang Kepala Daerah.
Sorry Bro, jangan ngajak berdebat lagi masalah hak prerogratif ya? Saya juga tahu kalau hak prerogratif itu –sebenernya- hanya dimiliki oleh Kepala Negara, pak Presiden dalam menyusun kabinetnya. Oh ya, saya jadi ingat waktu Ente sewot gara-gara dengerin pidato seorang Kepala Daerah yang bilang bahwa mutasi yang dilakukan telah melalui penilaian atas prestasi dan kinerja masing-masing. Ente lantas mencak-mencak sendiri, bagaimana mungkin dalam tempo yang relatif singkat seorang Kepala Daerah yang baru dilantik dapat melakukan penilaian terhadap kinerja bawahannya.
Lagi-lagi Ente lupa bahwa sejak Kepala Daerah dilantik, jabatan Ente sudah jadi target untuk dicopot lantaran Ente dianggap bukan pendukungnya. Sementara banyak para PNS yang secara diam-diam ikut menjadi tim suksesnya. Sedang Ente; nggak punya nyali untuk ikut memenangkan, dengan alasan bahwa PNS harus netral.
Bahkan, melihat banner pasangan calon yang nempel di dekat rumah saja, Ente menggigil ketakutan, minta tolong untuk dipindah. Maka nggak usah gelisah ketika mendengar bakal ada rolling, karena dari dulu juga program pertama Kepala Daerah setelah dilantik adalah melakukan rolling. Program lain menyusul, kan masa jabatan masih 5 tahun (dengan catatan tidak tersandung masalah dengan KPK ataupun Jaksa).
Ente juga nggak usah tertawa kecut ketika mendengar sambutan Kepala Daerah bahwa mutasi yang dilakukan merupakan bagian dari ’reformasi birokrasi’. Itulah batas pemahaman yang dimiliki sebagian Kepala Daerah, bahwa reformasi birokrasi adalah mengganti pejabat. Maka semakin sering dilakukan mutasi, semakin cepat reformasi birokrasi akan terwujud. (Semoga Pak Menpan RB nggak baca tulisan ini, takut ikut tertawa terpingkal-pingkal).
Pendapat Ente memang benar, bahwa mengganti para pejabat secara serampangan bukanlah tujuan dari reformasi birokrasi, terlebih jika hanya dilandasi dengan dendam politik. Tapi sudahlah, nggak bakalan ada yang ndengerin omongan Ente. Mendingan Ente cari obyekan lain di luar jam kerja sesuai dengan disiplin ilmu yang Ente punya. Usia masih muda dan masa kerja masih panjang. Harus semangat dan optimis, jaman nggak akan begini terus.
Saya kok punya keyakinan, suatu saat nanti pola promosi atau pengangkatan pejabat pemerintah akan kembali pada track-nya, yakni merujuk kepada aspek profesional, lepas dari belenggu patrimonial kekuasaan yang merugikan PNS, terbebas dari sekadar suka atau tidak suka. Berdo’a saja, semoga Presiden kita Pak Prabowo akan benahi semua ini lewat penegakan hukum dan aturan yang memang sudah ada. Nah, saat itulah Ente akan dapat nunjukin siapa Ente yang sebenarnya. Saya cuma bisa berdo’a, karena saya sudah pensiun. Tetap sabar dan tawakal ya, Bro…….!! *Penulis: Pemerhati politik pemerintahan dari PUSKAP Wilayah Lampung.