Malam yang gemerlap di kota-kota besar di koloni Hindia Belanda awal abad ke-20 dapat dikatakan menjadi tanda yang tegas pemisah zaman dengan abad-abad sebelumnya. Keramaian malam hari untuk kanak-kanak bermain tidak lagi harus menunggu waktu tibanya bulan purnama, tetapi ketika senja beranjak dan lampu-lampu kota mulai menyala.
Seperti penemuan teknologi mesin uap yang mendorong kereta dan kapal bergerak lebih cepat dibanding kereta kuda, penerapan teknologi listrik di koloni menjadikan pandangan visual di sekitar alun-alun tempat warga kota berkumpul menjadi lebih jelas seperti siang hari.
Seperti disampaikan penulis buku ini, penerapan teknologi listrik telah melahirkan sebuah budaya perkotaan dengan hiburan, kegiatan kebudayaan, seni, pergulatan intelektual, dan budaya angkringan di kota-kota besar. Listrik juga memperkuat kesadaran tentang konektivitas global di kalangan budayawan ketika ”setum, listrik, dan mesin” semakin melekatkan dunia Timur dan Barat.
Kontestasi
Buku berjudul Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 memang layak disambut hangat para sejarawan dan pembaca umum di Indonesia. Pertama, buku ini memberikan catatan yang cukup lengkap tentang bagaimana teknologi modern (sering kali dianggap sebagai produk Barat) menjejakkan kaki di koloni.
Kedua, ia memperkaya perdebatan di antara para sejarawan tentang dimensi perkembangan teknologi di koloni-koloni Eropa di Asia dan Afrika, antara mereka yang memandang kehadiran teknologi seperti mesin uap, senjata api, telegraf, dan listrik sebagai alat imperial (tools of empire), dan pihak lainnya yang memandang ”konteks lokal” memiliki peran lebih penting dalam menentukan arah dan perkembangan teknologi dibandingkan sekadar mewakili ambisi kekuatan imperial abad ke-19 dan awal abad ke-20.
kompas.id/baca/opini/2021/12/12/teknologi-dan-kuasa-di-tanah-raja